Hikayat Gusala
Sebatang nyiur itu kini telah mulai menampakkan kecantikannya. Memang belum lagi setinggi anak berusia 10 tahun, namun pelepahnya yang menguning, yang sebagian masih terbungkus tapas, juga sebagian daunnya yang kuncup, mampu menyemarakkan pagi di pekarangan si pemilik. Kelak, entah 10 atau 20 tahun lagi, barulah nyiur itu mampu memberikan manfaat yang sebenarnya bagi si pemilik.
Si pemilik adalah seorang petani berkulit hitam, sebagaimana umumnya orang asli Awangga. Sosoknya cukup besar bila dibandingkan manusia biasa, dan memang dia memiliki darah raksasa, yang diperolehnya entah dari bapak, kakek atau kakek buyutnya di masa lalu. Banyak penduduk Awangga yang memiliki ciri-ciri tubuh semacam itu. Kekar, besar, pendiam dan pemalu, namun, sekaligus pekerja keras yang tenaganya seakan tak ada habis-habisnya.
Gusala, demikianlah orang memanggilnya. Mengapa dia dipanggil demikian dan siapa yang berhak menamainya demikian, dia tak tahu secara pasti. Memang, Gusala tak mengenal siapa kedua orangtuanya sejak lahir. Dia hanya tahu, tumbuh dan memiliki saudara sebanyak tujuh orang, di tengah sebuah keluarga petani. Semula dia tak mengerti, mengapa dirinya sangat berbeda dari saudara-saudara maupun kedua orangtuanya. Dia hanya sering bertanya dalam hati mengenai perbedaan itu, namun tak pernah terlintas jawaban apa pun di kepalanya. Dan Gusala pun tak pernah mempersoalkan benar, karena semua yang ada di sekelilingnya tak mempersoalkannya.
Baru ketika usianya dipandang cukup dewasa, pada saat harus membuka ladang baru sebagai tanda kedewasaannya, kedua orangtuanya menceritakan riwayat hidupnya. Gusala tertegun. Dia bukanlah anak yang dilahirkan dari orang yang selama ini dianggapnya sebagai ibu.
”Apakah kau mengerti, Gusala?” ucap perempuan itu, setelah uraiannya selesai.
Gusala hanya mengangguk kecil, tak selintas pun pengertian muncul di kepalanya.
”Apakah kau kecewa, anakku?” Mula-mula ada anggukan kecil, namun segera disusul gelengan. Gusala sendiri tak tahu mengapa dia menggeleng dan mengangguk. Baginya, tak penting dilahirkan oleh siapa.
***
Matahari memang sedang terik-teriknya. Sesaat Gusala tegak, menatap alur-alur tanah gembur di kiri-kanan rumpun ubi yang ditanaminya. Menggunduk panjang dan rapi. Sebersit senyum menghiasi bibir Gusala. Dipandanginya jajaran kelapa yang memagari batas tanahnya. Beberapa di antaranya sudah ada yang menjulang tinggi, bahkan satu dua sudah bermanggar. Memang, kelapa-kelapa yang bermanggar itu hanya dipindahkannya dari ladang ayahnya. Itu adalah hadiah sang ayah kepada Gusala.
Gusala tak pernah berpikir bahwa perhatian yang agak berlebihan dari kedua orangtuanya itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang kurang dari dirinya dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. Tetapi, sekali lagi, Gusala tak peduli. Mungkin lebih tepatnya, dia tak mengerti apa makna tindakan kedua orangtua angkatnya itu.
Sampai saat ini, Gusala hanya hidup sendiri. Tak ada seorang gadis dusun pun yang mau dijadikan istrinya. Kaki dan Nyai Guno Brayat sebetulnya sangat prihatin akan kelainan anak angkatnya itu, tetapi mereka tak punya cara untuk membantunya. Mereka hanya berdoa, semoga saja ada seorang perempuan yang suatu kali kelak mau mendampingi Gusala.
Gadis manakah yang mau menikahi seorang laki-laki separuh raksasa yang bahkan tak lengkap kecerdasannya itu? Kaki dan Nyai Guno sadar betul akan hal itu. Kepedihan mereka memikirkan nasib Gusala kian pekat manakala dilihatnya, sang anak bahkan tak mengerti apa arti perempuan baginya.
***
Maka sore itu, ketika matahari mulai condong ke ufuk barat, Guno Brayat mengunjungi anaknya yang tinggal di ladang dekat hutan itu. Rasa sayangnya pada Gusala memang tak pernah luntur, sejak bayi itu ditemukannya di sebuah goa batu. Rasa ibanya kembali mengental manakala lintasan pemandangan buruk itu kembali memasuki kenangannya. Gusala ditemukan tergeletak menangis di dekat dua mayat, yang bisa jadi adalah orangtuanya. Sebilah tombak dan beberapa anak panah masih tertancap di tubuh yang sudah mulai membusuk itu. Yang satu jelas sekali berujud raksasa, tampak dari sosok dan sepasang taring tersembul di rongga mulutnya yang menganga. Yang seorang lagi, manusia biasa. Perempuan gunung. Mungkin dia adalah ibu Gusala.
”Gusalaa…” teriak Ki Guno dari kejauhan, demi dilihatnya Gusala sedang bersandar di batang melinjo.
Gusala seketika berdiri, wajahnya berseri-seri dan berlari, melompati alur-alur tanah menggunduk, menyambut sang ayah. Dan tanpa berkata apa-apa, Gusala mencium kaki ayahnya. Mata Ki Guno berkaca-kaca, terharu oleh ketulusan anaknya.
***
”Ibumu ingin agar kau memilih istri, anakku. Apakah kau sudah punya keinginan untuk berumah tangga?”
Hening. Senyap. Uir-uir di kejauhan mendetir-detir.
”Bapak… Gusala tidak tahu.” Jawab Gusala sesaat kemudian. Lama dia terdiam menyusun kata.
”Setiap orang pasti punya keinginan memiliki pasangan… apakah kau tidak memimpikan seorang perempuan?”
Gusala diam. Pandangannya menunduk. Gusala tak tahu apa sebenarnya yang akan diucapkannya. Jika memang mimpi, mengapa beberapa kali dia bermimpi bertemu dengan seorang gadis jelita. Tubuhnya mungil, kulitnya hitam manis dengan rambut panjang mengombak menutup pinggang. Gadis itu tersenyum padanya dan itu membuatnya bahagia. Hanya itu.
”Gusala, pernahkah kau bermimpikan seorang perempuan?”
Gusala mengangguk.
”Apakah kau mengenalnya?”
Gusala menggeleng.
”Jadi kau belum pernah berjumpa dengannya?”
Sekali lagi Gusala mengangguk.
Ki Guno menarik napas. Lalu, ”…apakah kau menginginkannya, anakku?”
Lama Gusala terdiam, seakan kembali mencari kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.
”Jika kau menginginkannya, mungkin bapakmu bisa mengupayakannya untukmu…”
”Tapi…,” ucapan Gusala terlontar begitu saja, ”…Gusala tak tahu, siapa dia… apalagi di mana dia tinggal… lalu, seandainya saja bertemu, apakah dia mau melihatku…”
”Anakku, Gusala, bapakmu percaya bahwa setiap orang memiliki jodohnya sendiri-sendiri. Entah bagaimana, kau akan mendapatkan seorang istri yang kau impikan itu…”
***
Dan itu adalah doa. Dan doa adalah janji. Dan janji adalah utang. Dan utang memang harus dibayar. Maka dengan segala kemampuan, Ki Guno melakukan apa yang menjadi doa bagi Gusala. Bersama beberapa anak lelakinya yang lain, Ki Guno mencari tahu siapakah dara yang hadir di impian anaknya itu.
Semula, semuanya hanya jadi bahan tertawaan anak-anak Ki Guno. Namun, setelah sang ayah mengatakan bahwa impian adalah jalan lain bagi suatu kebenaran, terutama bagi orang seperti Gusala, maka mereka pun terdiam. Ucapan sang ayah terasa memiliki kekuatan bahwa apa yang diimpikan Gusala akan bisa terlaksana.
”Kalau istri Prabu Salya pernah mengalaminya sendiri, mengapa Gusala tak bisa?” begitu kata penutup Ki Guno kepada anak-anaknya. Ya, tuturan yang entah siapa yang menyebarkannya itu, menjadi kepercayaan banyak manusia yang pernah mendengarnya. Mereka percaya bahwa ada yang lebih daripada yang sekadar bisa diraba, didengar, dan dirasakan. Mimpi mampu menyelusup kapan pun dalam diri manusia, dan itu adalah anugerah yang tak terkira. Mereka percaya bahwa mimpi adalah kekuatan di luar diri manusia, yang hadir hanya untuk kebenaran. Hanya saja, hidup manusia sering kali lebih rumit dibandingkan impian, sehingga kebenaran mimpi lebih banyak meleset dari seharusnya. Sebagian manusia melupakan mimpi sebagai jalan kebenaran, bisikan dari Sang Agung, dan hanya menganggap tak lebih daripada bunga tidur belaka.
Dewi Setyawati, jelita berayahkan raksasa pertapa itu, suatu kali bermimpi bertemu dengan seorang pemuda tampan bernama Narasoma. Setyawati percaya bahwa pemuda itulah suaminya kelak. Sang ayah mengerti benar makna ucapan anaknya. Maka terjadilah pernikahan itu, dan kini Narasoma menjadi raja, menjadi mertua dari seorang raja—sang Basukarna, raja negeri Awangga. Raja mereka.
Hanya dengan bekal keyakinan itu, keluarga Guno Brayat yakin bahwa apa yang diimpikan Gusala akan menjadi kenyataan.
”Tetapi, kita harus memulainya dari mana, Pak?” Tanya si sulung yang kini sudah beranak tiga.
”Bukannya aku mendahului ’Kehendak’, tetapi, apa mungkin… perempuan secantik—seperti yang dikatakan Gusala—itu mau menerima kenyataan?”
”Maksudmu?”
”Yaaa…”
”Maksudmu, Gusala jelek, begitu?” sergah Nyai Guno agak gusar pada anaknya yang nomor dua. ”Ingat, Gasa… dia adikmu. Ada darah yang sama, yang mengalir di tubuhnya dengan apa yang ada di tubuhmu. Kalian semuanya, termasuk Gusala, meminum darah dari tubuhku…” Malam hening. Malam pekat. Nyai Guno beberapa kali menarik napas berat.
***
Satu purnama berlalu begitu saja, dan upaya delapan laki-laki itu hanya menuai gelak tawa di sana-sini. Adapun Gusala, tetap menjalani hidupnya sebagaimana biasa. Meskipun sering kali, secara aneh dan tiba-tiba saja dia tertidur dan bermimpi bertemu seorang dara manis, mungil, dan tersenyum kepadanya. Dan setiap kali dia bermimpi, tiba-tiba saja hidupnya seperti berbunga-bunga. Dan setiap kali hidupnya berbunga-bunga, Gusala merasakan arus tenaganya melimpah ruah, memberontak meminta keluar. Maka, setiap kali usai bermimpi, Gusala dengan giat mengayunkan cangkulnya, tak peduli siang atau malam.
Tak mengherankan jika ubi-ubi yang ditanam Gusala menjadi istimewa. Dan ketika panen tiba, ubi-ubi Gusala bukan saja besar—karena ditanam di tanah gembur, tetapi juga manis, mempur dan jumlahnya berpuluh-puluh pikul ketika dibawa ke pasar. Dan semuanya dilakukannya sendiri.
***
Di pasar itulah, Gusala bertemu dengan gadis yang ada di mimpinya. Di pasar itulah hidup Gusala berubah. Dia tak ingin terjaga dari mimpinya kali ini. Dia tatap sepasang mata berbinar yang lembut. Dia pandangi lengan berjari mungil yang memilih ubi-ubi yang menghampar di depannya. Ah, siapakah engkau wanita cantik?
Dan sepasang mata itu pun, ketika sesaat tertangkap mata Gusala, seakan enggan berkedip. Siapakah yang memasang perangkap, dan siapakah yang terperangkap, dia sendiri tak tahu pasti. Sebagaimana Gusala, dia hanya merasakan sesuatu yang aneh. Dia pun merasakan pernah menemukan wajah itu berkali-kali, di suatu tempat atau masa?
Mata Gusala dan mata gadis itu seakan bubu dan ikan. Hanya saja keduanya sering kali bertukar peran. Tertangkap atau menangkap, tak lagi penting. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada persentuhan yang menggetarkan itu.
”Apakah engkau yang selama ini menemuiku?” bisik Gusala.
”Apakah engkau yang selama ini kutemui?” balas gadis itu.
Dan keheningan adalah jawaban. Keduanya hanya terpesona oleh jawaban aneh yang tiba-tiba terbentuk di bentangan jiwa masing-masing. Jawaban yang mendadak berkecambah, membenih dan tumbuh dengan suburnya. Gusala gugup menyadari sesuatu yang merebak tumbuh di sanubarinya, demikian pula si gadis; pipinya merona merah.
Tak kuasa menahan kegembiraan, si gadis mendadak tersenyum, dan berlari meninggalkan tempat Gusala berdagang. Sementara Gusala masih melambung oleh perasaan aneh yang menggelimangi jiwa tulusnya.
”Hei.. raksasa, kau apakan gadis itu?” tiba-tiba bentakan kasar membuyarkan keindahan Gusala. Sekelompok laki-laki yang—menilik pakaiannya—agaknya pengawal si gadis, tiba-tiba mengepungnya. Entah di mana mereka selama ini, Gusala tak menyadarinya. Orang-orang yang ada di pasar minggir. Mereka hanya sempat berkomentar dalam hati: ah, raksasa memang selalu begitu kalau diberi hati.
”Hei, kau belum menjawab pertanyaanku… kau apakan gadis itu?”
Gusala hanya terlongong-longong bingung menanggapi pertanyaan bertubi-tubi dari mereka yang mengepungnya. Jiwanya masih belum sepenuhnya berpijak pada kenyataan karena masih terbawa kepak sayap keindahan yang baru kali ini dialaminya.
Kadang-kadang, sambil menatap wajah-wajah pengepungnya, Gusala tersenyum karena jiwanya masih menikmati keindahan yang entah mengapa tak segera hilang dari dirinya.
”Ah… rupanya kau bukan hanya raksasa, tetapi juga sakit jiwa..” dan gelak tawa pun pecah di pasar itu.
Gusala, tanpa paham benar apa yang diucapkan orang yang menghinanya, membalasnya dengan senyum. Begitu Gusala tersenyum, gelak tawa menjadi-jadi.
”Tuan..” tiba-tiba Gusala berucap, ”apakah tuan-tuan mengenal gadis cantik yang baru saja di sini..”
Orang-orang itu terhenti sejenak, lalu tergelak-gelak lagi. ”Tentu saja… dia adalah anak tuan kami.”
”Siapakah namanya, aku ingin mengenalnya…”
”Hei raksasa ’miring’, jangan bermimpi..”
”Gusala tak mimpi. Dia memang menemuiku di mimpi, tapi kali ini, tidak mimpi..”
”Hei…, gadis itu adalah anak seorang saudagar yang sangat dekat dengan kalangan istana…. Dan dia sudah dijodohkan dengan anak petinggi Awangga. Jadi, seperti kataku, jangan bermimpi.”
”Gusala hanya ingin tahu namanya.”
Dan sebuah pukulan menghantam wajah Gusala. Gusala terkejut, tak sakit sama sekali.
Gusala berdiri, orang-orang itu mencabut pedang. ”Apa salah Gusala, sampai tuan…”
Ucapannya terpotong pukulan orang kedua. Dan belum lagi sempat bergerak, sisanya segera mengeroyok Gusala.
Maka sebagaimana disebutkan dalam hikayat, Gusala pun akhirnya mati di tengah pencariannya. Bahkan seluruh keluarganya dihukum karena didakwa melawan hukum negara, yang melarang manusia menolong makhluk di luar golongannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar